Monday, June 01, 2009 /

.DAN PARTAI (berbasis massa) ISLAM PUN MEMBLE

Oleh : Abdul Aziz Al Fadhol
Akhirnya terbukti,bahwa tidak ada partai Islam.Yang ada adalah partai yang berbasis massa Islam.Partai Islam adalah partai yang bersungguh-sungguh memperjuangkan Islam dan kepentingan akidah umat Islam.Indikatornya cukup mudah,partai itu hanya akan memilih pemimpin atau kawan perjuangan yang pro terhadap syari’at Islam.Dan ini tidak pernah ada semenjak reformasi digulirkan.

Adapun partai yang berbasis Islam adalah partai yang mayoritas pengurusnya adalah umat Islam atau yang dideklarasikan oleh ormas Islam.
Secara substansi partai ini sama dengan partai lainnya,prinsipnya hanya memperjuangkan kepentingan elite politisi masing-masing.Adapun agama,bangsa dan negara hanya dijadikan atas nama.

Sebenarnya tidak mengejutkan apabila partai berbasis massa Islam terpuruk dalam pemilu legeslatif yang lalu,sebab selama reformasi partai-partai itu tidak sungguh-sungguh mendidik umat dengan akidah dan syari’ah Islam.Para petinggi partai lebih sibuk bernegosiasi politik untuk menyelamatkan kedudukan petinggi partai dibandingkan dengan memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam parlemen.Para aktifis pergerakan Islam yang dimasa orde baru begitu gigih dan lantang mengutuk system orde baru,bahkan sebagiannya menganggap para pejabat pemerintahan orde baru sebagai thagut, ketika mereka menduduki posisi yang sama di masa reformasi semangat perjuangannya perlahan padam .Hanya sebagian kecil yang benar-benar tahan uji.
Masih teringat dalam ingatan,pada awal-awal reformasi sebuah partai yang berbasis massa Islam di Jawa Barat menganggap ada alokasi dana yang tidak jelas sumbernya dan menganggap dana itu sebagai dana syubhat,bahkan ada yang menganggapnya dana haram apabila diterima oleh partai.Tetapi setelah menuai simpati umat karena “ketegaran prinsipnya”,maka secara diam-diam partai itu membagikan dana tersebut kepada konstituennya dengan menggunakan kemasan partai sehingga masyarakat menganggapnya sebagai pemberian dan perhatian partai terhadap mereka.Jurus “tebar rahmah” ini akhirnya menjadi jurus ampuh partai tersebut dalam meraih simpati umat.Tetapi sayang mereka lupa,bahwa kepura-puraan itu tidak akan bisa bertahan lama.

Dalam beberapa pilkada pun partai-partai yang berbasis umat Islam itu hampir tidak sungguh-sungguh memperjuangkan Islam dan umatnya.Hanya untuk memenangkan kursi mereka melakukan koalisi dengan partai yang dalam kondisi “normal” dianggap sebagai partai thogut.Bahkan cara primitive pun dilakukan untuk sekedar meraih kursi.Pada pileg yang lalu misalnya kita menemukan selebaran dari salah satu partai berbasis umat Islam yang berisi ajakan agar public menerima uang “serangan fajar” tetapi tidak usah memilih partai dari si pemberi uang,tetapi pilih saja partai yang terbukti tahan korupsi.Yang dimaksud dengan partai terakhir itu adalah partai berbasis umat Islam tersebut.Dan selebaran itu ironisnya disebar beberapa jam sebelum hari pencontrengan.Hal itu menggambarkan bagaimana para politisi muslim tidak jauh lebih baik dibandingkan dengan para politisi orde baru yang sering mereka hujat.Budaya licik dan mentalitet kerdil telah membuat para politisi muslim menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan.
Oleh karena itu tidak mengherankan bila kita melihat betapa manjanya para politisi partai berbasis umat Islam ketika sang incumbent memilih pendampingnya seseorang yang tidak berkenan di hati mereka.Dengan bersandar kepada Islam dan umatnya politisi partai itu ngadat dan mengancam-ngancam.Tetapi ketika melihat sang incumbent tidak bergeming,maka sang pemimpin partai umat pun “balaham belehem” minta kue kekuasaan.Maka pantaslah bila akidah umat goyah dan syariah umat lemah,karena akidah dan syariah para pemimpinnya pun payah.

Prilaku politik kerdil dan licik seperti itu mungkin tidak akan berdampak besar bila dilakukan oleh partai yang tidak membawa-bawa symbol agama.Publik akan menganggap wajar bila dalam politik ada sedikit kelicikan,sebab public pun akan memaklumi kesekuleran partai itu.Tetapi karena yang melakukan itu adalah partai-partai yang berbasis umat Islam dan mengklaim diri sebagai partai Islam,maka masyarakat pun jengah,enek dan ingin muntah karena nuraninya tidak rela kehormatan dan kesucian agamanya dijadikan alat permainan politik.Kejengahan dan keenekan ini lama-lama mengendap dalam memori dan kemudian diaktualisasikan dalam bentuk tidak memilih partai yang dinakhodai para makelar agama.Akibatnya kita melihat bersama,hamper semua partai berbasis umat Islam memble.

Jadi kita tinggal milih,mau partai yang menjual agama atau partai nasionalis yang memperjuangkan agama? Tentu saja kalau bisa,kita bentuk partai agama yang benar-benar memperjuangkan agama!

comments (2) / Read More

Monday, April 20, 2009 / Labels:

Menyoal Langkah Menuju Parlemen

Oleh : Irfan Jauhari
Senang rasanya bisa berbagi cerita, ngobrol kesana kemari, Ngaler Ngidul, sekalian tukar pikiran, jejak pendapat dan tentunya dengan satu alasan kita semua berangkat dari Referensi yang valid alias Sohih secara mutawatir. Memang sudang kenyataan, Negara tercinta ini hidup dalam kurun waktu yang penuh dengan lika-liku demokrasi, baik itu beraroma ke Nasionalisan,

Kereligiusan bahkan Kemunafikan bagi oknum-oknum tertentu.
Kiranya kita menyadari betul, apa saja langkah-langkah yang ditawarkan hidup ber Demokrasi. dan itulah yang mesti kita renungkan bersama definisi serta aplikasi demokrasi dalam kehidupan bernegara, format demokrasi mana yang akan kita bentuk, karena begitu banyak negara yang sudah mengenal kata demokrasi, justru kondisinya lebih mengenaskan daripada kenyataan yang terjadi di negara kita.
Dari fragmen tadi, sekiranya kita musti berbaik sangka sebentar terhadap nama yang masih fiktif apa itu Demokrasi kaitannya dengan integrasi Kesatuan Negara Indonesia. Mengapa harus Demokrasi yang menjadi referensi kita semua? bukan kah kita sudah bisa menyatakan negara yang sudah lama merdeka.
Tidak perlu berandai-andai untuk sekarang ini, sejauh ini kita belum melihat dari gerak-gerik para elit politik kita, dalam mengejawantahkan apa itu demokrasi, pada kenyataannya ruang bebas ketika kita dihadapkan dalam dunia Ijtihad untuk berjuang atau berkecimpung dalam urusan dunia dengan mengambil cara mengikutsertakan kita untuk bergelut dalam pesta demokrasi.
Memang sah-sah saja, namun perlu diingat spectrum Dakwah dengan niat atau Moto "Menjadikan DPR lebih baik" kiranya tidak dipublish lantaran kita sudah punya kekuatan ijtihad dalam berpartai. coba kita pikirkan kembali, berjuang untuk memberi kemaslahatan tidak saja dengan mengambil alih komando dalam hidup bermasyarakat, tapi kemudian bagaimana langkah real supaya setiap pribadi kita mempunyai tanggungjawab untuk memperbaiki keadaan. sehingga tidak ada wacana, seolah-olah orang yang selama ini duduk dalam kursi yang bermandikan rupiah bahkan dolar adalah orang-orang yang tidak layak kita teladani.
Berat memang, menjaga prasangka baik terhadap seseorang, tetapi mari bersama meluaskan kembali jalan dakwah, dan tidak terpaku dalam kehidupan berdemokrasi, penulis takut ketika kita gagal menembus tembok raksasa yang bertulikan GEDUNG DPR-MPR, sejak itu juga langkah dakwah kita terhenti.
Tentunya, banyak cara yang bisa menjadi alterantif untuk membangun negara ini jadi lebih baik. Bukan saja dengan berpartai, lantas kita menjudgment bahwa kehidupan, kesejahteraan rakyat akan menjadi lebih baik.
Lebih dari itu, ada sedikit kekhawatiran karena kita sudah terlalu candu dengan partai, sudah rindu sekali dengan partai, sudah merasa yakin bahwa dengan berpartailah dengan berdemokrasi lah, dengan menembus DPR RI lah, bahwa hidup kita akan lebih baik.
Saya hanya berharap, teruskan niat baik kita untuk Amr Makruf Nahyi Munkar....., teruskan demi keoptimisan perjuangan dalam membela kebenaran, yakin bahwa kebenaran akan bersinar kembali, yakin bahwa Kekuatan Allah senantiasa terus melindungi orang-orang yang hidup dalam kebersamaan. Semoga, aroma pesta demokrasi ini tidak menjadi satu lantaran kita bercerai berai, kita saling mencemooh satu sama lain, mari kita bangun moralitas dalam hidup bersosial, baik itu dalam berdemokrasi maupun dalam hal lainnya.
akhirnya, penulis kembalkan segala urusan kepada Allah swt Yang Maha Tahu dan Maha Melihat.

Wallahu A'laam
Al Faqiiier ila Allah
ifan_thea@yahoo.com (YM)
Pekanbaru, 06 April 2009 - 07.17 - menikmati pagi nan cerah menunggu rintik hujan reda yang menyegarkan aroma pagi Kota Pekanbaru!

comments (1) / Read More

Monday, April 13, 2009 / Labels:

Demokrasi No,Syura Yes.

Oleh : Abdul Aziz Al Fadhol,SThI
Pemilu Legeslatif telah usai dan para kontestan harap-harap cemas,bahkan sebagian ada yang stres dan depresi.Hal ini terjadi karena negara kita menganut system demokrasi dalam memilih dan menentukan pemimpin.Dengan system demokrasi,legitimasi kepemimpinan ditentukan berdasarkan suara terbanyak,meskipun yang memberikan suara itu orang

yang tidak mengetahui persoalan kenegaraan dan persoalan kemasyarakatan lainnya.Karena untuk bisa menduduki kursi kepemimpinan itu ditentukan oleh suara terbanyak,maka setiap kontestan akan berusaha semaksimal kemampuannya untuk bias meraih simpati public.Kalau perlu dengan menyebar umpan dan janji manis,bahkan tidak jarang disertai dengan bujuk rayu dan intimidasi.Akibatnya,kepemimpinan demokrasi melahirkan kepemimpinan yang terikat dengan utang piutang jasa sehingga kebijakan pemimpin disesuaikan dengan tuntutan sang konstituen yang memberikan dukungan kepadanya,tidak lagi didasarkan akan kepentingan dan kemaslahatan masyarakat banyak.Inilah faktanya pasca reformasi dimana pemimpim daerah yang dipilih secara demokrasi bermutasi menjadi raja-raja kecil yang hanya memperhatikan kelompoknya dan para konstituennya.

Oleh karena itu,maka kita harus memikirkan ulang (rethinking) tentang system demokrasi.Ada beberapa alasan mengapa kita perlu menolak demokrasi dan memberlakukan syura,yaitu :

a. Sistem demokrasi bersumber dari pemikiran manusia yang sangat lemah dalam segala halnya,sementara system syura merupakan amanat Alloh Swt yang Maha dalam segalanya.

b. Sistem demokrasi sangat tidak rasional dan tidak logis karena akan sulit diterima oleh akal sehat bila rakyat yang banyak menjadi pemegang kewenangan atas segelintir orang,sementara dalam sistem syura Alloh memberikan kewenangan kepada yang sesuai dengan kemampuannya untuk memutuskan apa yang terbaik untuk orang banyak.Lebih rasional segelintir orang memimpin orang banyak dibandingkan dengan orang banyak memimpin segelintir orang.

c. Sistem demokrasi tidak memberi penghargaan kepada daya intelektualitas seseorang,sebab suara seorang professor dinilai sama dengan suara seorang yang buta hurup dan tidak mengerti persoalan apa-apa.Berbeda dengan syura , dimana sekelompok orang memberikan kepercayaan terhadap sesorang yang mereka kenal kwalitas kepribadian dan keilmuannya.

d. Sistem demokrasi mengandung nilai kemusyrikan karena tidak terlepas dari adagium vox populi vox dei,suara rakyat adalah suara tuhan.Apakah tidak musyrik bila suara tuhan dibandingkan dengan kehendak rakyat? Dalam demokrasi sepuluh suara maling akan mendapatkan legetimasi dibandingkan dengan tiga suara ulama sholih.Apakah ini tidak merefleksikan kejahilan yang luar biasa? Berbeda dengan syura,pemimpin tidak akan memutuskan sesuatu berdasarkan suara terbanyak,akan tetapi berdasarkan argumentasi yang shahih dengan pertimbangan yang mashlahat setelah melalui perdebatan yang melelahkan.

Dan masih banyak lagi alasan-alasan agar kita meninggalkan system demokrasi dan memberlakukan syura dalam menentukan pemimpin dan merumusan kebijakan.



Ciawi,13 April 2009.

comments (4) / Read More

Friday, April 03, 2009 / Labels:

Sebuah Catatan Menjelang Pemilu

Oleh: Muslim Nurdin
Pemilu 2009 sudah di ambang pintu. Umat pun saat ini tengah bersiap-siap untuk menentukan pilihannya. Partisipasi dari umat, dengan cara aktif tentunya, memang sangat diharapkan dapat membantu perjuangan Islam dan umat Islam di parlemen. Sungguh sangat disayangkan, jika apresiasi umat yang sudah cukup besar seperti itu, kemudian diabaikan dengan berbagai

alasan oleh para caleg yang kelak terpilih.

Dalam hiruk pikuk persiapan Pemilu tersebut ada sedikit konflik wacana yang jika tidak dijernihkan akan menjadi kerikil-kerikil tajam di kemudian hari. Wacana yang dimaksud dihembuskan oleh sebagian pihak yang menyatakan bahwa para da’i sudah tidak semestinya lagi berdakwah hanya di mimbar masyarakat, tapi juga harus di mimbar parlemen. Di lain pihak, ada juga yang menolaknya sama sekali, dengan menyatakan bahwa dakwah via parlemen hanya buang-buang energi belaka.

Kedua pendapat ekstrem tersebut tentu salah kedua-duanya. Karena kedua lahan garapan dakwah di atas haruslah digarap bersama-sama. Dakwah di tengah masyarakat harus digalakkan dengan tanpa menafikan dakwah di parlemen, demikian juga sebaliknya. Keduanya harus saling menunjang dan mendukung. Maka dari itu konflik wacana yang tidak efektif seperti itu sudah semestinya diakhiri secepat mungkin. Bagi yang berdakwah di parlemen jangan pernah menegasikan dakwah di masyarakat, demikian juga sebaliknya

Berkaitan dengan itu, ada sedikit catatan yang layak diperhatikan oleh kedua pihak yang sama-sama terlibat dalam dunia dakwah tersebut.

Pertama, politik adalah kekuasaan. Menurut seorang doktor politik, Miriam Budiardjo, kekuasaan adalah upaya memengaruhi orang atau pihak lain agar mengikuti atau menyetujui hal yang disampaikan, bahkan sampai mengerjakan apa yang tidak dikehendakinya.

Selama ini, para da’i telah melakukan peran tersebut, baik langsung maupun tidak langsung. Penghormatan umat kepada seorang da’i merupakan isyarat minimal bahwa peran politisnya telah berhasil dilakukan. Dengan demikian, anggapan-anggapan kurang bijak yang menyebutkan bahwa para ustadz dan atau kyai tidak mampu berpolitik merupakan kejahilan terhadap makna politik atau terjebak pada dikotomi antara makna politik an sich dan makna politik praktis.

Kedua, sejarawan Inggris bernama Lord Acton pernah menyebutkan bahwa kekuasaan itu cenderung korupsi: all power tend to corrupt and absolute power corrupt absolutely. Hal tersebut mengisyaratkan sangat kuatnya godaan kekuasaan ketika menumpu pada seseorang atau sekelompok orang. Akhir-akhir ini (baca: sejak diakuinya eksistensi KPK), semua orang telah diberi hal ironi seiring dengan terungkapnya sejumlah kasus korupsi oleh para pejabat publik yang notabene mereka berada atau memiliki kekuasaan. Dari sekian kasus yang terungkap tersebut adalah korupsi yang dilakukan oleh oknum anggota legislatif yang sebelum menjadi anggota dewan berjanji di hadapan konstituennya untuk mengedepankan kepentingan rakyat.

Norman Basley menyebutkan bahwa Politics has no moral; politik Itu tidak bermoral. Ungkapan tersebut merupakan simpulan dari konsep Machiavelis yang disinyalir melekat dalam kehidupan politik berdasar atas realitas yang ada. Dengan demikian, pengabaian terhadap prinsip-prinsip moral dan etika merupakan suatu hal yang lumrah dan wajar dalam kehidupan politik. Dalam hal inilah masyarakat kemudian sering menilai bahwa dakwah lewat parlemen adalah sia-sia. Penilaian seperti itu tentu bukan untuk ditolak, melainkan untuk dijawab dengan pembuktian terbalik.

Ketiga, tingkat intrik dan konflik dalam politik sangat tinggi. Konsep Machiavelis yang menghalalkan segala cara dalam meraih kekuasaan erat dalam ruang politik. Dengan demikian, muncullah beragam ungkapan lain terhadap politik, seperti homo homini lupus (serigala bagi manusia lainnya) dan bellum omninum contra omnes (semua manusia akan berperang melawan manusia). Dengan demikian dapat digeneralisasikan bahwa dalam kehidupan politik senantiasa terjadi intrik dan konflik.

Pada masa khulafaur-rasyidun, intrik dan konflik pernah terjadi. Sepeninggal Rasulullah saw, perselisihan terjadi di antara kaum Muhajirin dan Anshar untuk menetapkan pemimpin baru bagi kaum muslimin. Saat itu, kibarus-shahabah (shahabat senior) masih ada dan lengkap. Tidak ada satu pun di antara mereka yang berkeinginan menjadi pemimpin kaum muslimin. Akan tetapi, atas desakan dari bawah (baca: kibarus-shahabah lainnya) Abu Bakarlah yang menjadi khalifah. Demikian pula dengan yang dialami khalifah-khalifah berikutnya di masa khulafaur rasyidun. Mereka dapat melalui kepemimpinannya dengan baik karena modal mental dan spiritual hasil binaan Rasulullah saw. yang mantap.

Selama kepemimpinan khulafaur-rasyidun, idealisme benar-benar dijaga dengan konsisten sekalipun di antara mereka ada yang harus mengalami nasib tragis. Pragmatisme terpinggirkan dengan ketawaduan, keqana’ahan, dan kewara’an yang menjelma dalam kehidupannya sehari-hari. Hal tersebut tidak terjadi tanpa sebab, tetapi gambaran dari kekuatan ilmu yang diterima dari Nabi saw.

Mengakhiri catatan sederhana ini, perlu kembali diulang bahwa para da’i telah berpolitik dengan aktivitas dakwahnya setiap waktu. Konsisten dan optimalkan peran politis tersebut agar dapat memberi shibghah hasanah kepada umat, terutama terhadap para pemangku kekuasaan. Adapun bagi yang telah masuk dalam ranah kekuasaan agar meluruskan niat dari awal dan mudah-mudahan Allah swt memberikan kekuatan untuk konsisten menjaga idealisme dan menjauhi pragmatisme. Wal-’Llahu a’lam bis-shawab.

sumber: Persatuan Islam Online

comments (3) / Read More

/ Labels:

Muktamar Persis 2010 Dilaksanakan di Pesantren

Salah satu keputusan musyawarah Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP.PERSIS) yang diselenggarakan di Hotel Antik, Soreang, Kabupaten Bandung, akhir Januari 2009 lalu, adalah mengenai lokasi Muktamar Persis XIV tahun 2010, yaitu di enam Pesantren Persis.
Musyawarah yang dipimpin oleh Ketua Umum PP. Persis,

KH. Shiddiq Amien, MBA, juga membahas masalah Siyasah Jam’iyyah dan Pola Kaderasasi Jam’iyyah, serta pelanti-kan Ketua Bidang Garapan (Kabidgar) Hubungan Luar Negeri (Hubluneg) dan Sekretaris Hubluneg.

Prof. Dr. HE. Aminudin Aziz, MA dilantik sebagai Kabidgar Hubluneg, dan H. Ade Abdurrahman, Lc, sebagai Sekretaris Hubluneg, menggantikan Drs. Asep Saefufin Ma’soem, M.Ed yang mengundurkan diri. H. Ade Abdurrahman sendiri tadinya sebagai Ketua Bidgar hubluneg.

Salah satu keputusan musyawarah Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP.PERSIS) yang diselenggarakan di Hotel Antik, Soreang, Kabupaten Bandung, akhir Januari 2009 lalu, adalah mengenai lokasi Muktamar Persis XIV tahun 2010, yaitu di enam Pesantren Persis.

Musyawarah yang dipimpin oleh Ketua Umum PP. Persis, KH. Shiddiq Amien, MBA, juga membahas masalah Siyasah Jam’iyyah dan Pola Kaderasasi Jam’iyyah, serta pelanti-kan Ketua Bidang Garapan (Kabidgar) Hubungan Luar Negeri (Hubluneg) dan Sekretaris Hubluneg.

Prof. Dr. HE. Aminudin Aziz, MA dilantik sebagai Kabidgar Hubluneg, dan H. Ade Abdurrahman, Lc, sebagai Sekretaris Hubluneg, menggantikan Drs. Asep Saefufin Ma’soem, M.Ed yang mengundurkan diri. H. Ade Abdurrahman sendiri tadinya sebagai Ketua Bidgar hubluneg.


Salah satu keputusan musyawarah Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP.PERSIS) yang diselenggarakan di Hotel Antik, Soreang, Kabupaten Bandung, akhir Januari 2009 lalu, adalah mengenai lokasi Muktamar Persis XIV tahun 2010, yaitu di enam Pesantren Persis.

Musyawarah yang dipimpin oleh Ketua Umum PP. Persis, KH. Shiddiq Amien, MBA, juga membahas masalah Siyasah Jam’iyyah dan Pola Kaderasasi Jam’iyyah, serta pelanti-kan Ketua Bidang Garapan (Kabidgar) Hubungan Luar Negeri (Hubluneg) dan Sekretaris Hubluneg.

Prof. Dr. HE. Aminudin Aziz, MA dilantik sebagai Kabidgar Hubluneg, dan H. Ade Abdurrahman, Lc, sebagai Sekretaris Hubluneg, menggantikan Drs. Asep Saefufin Ma’soem, M.Ed yang mengundurkan diri. H. Ade Abdurrahman sendiri tadinya sebagai Ketua Bidgar hubluneg.

Musyawarah memutuskan bahwa Muk-tamar Persis XIV tahun 2010 akan dilaksanakan di enam lokasi berbeda, yaitu Muktamar : Persis di Pesantren Benda, Tasik-malaya; Persistri di Pesantren Rancabogo, Tarogong, Garut ; Pemuda Persis di Pesantren Persis Rajapolah, Tasikmalaya; Pemudi Persis di Pesantren Rancabango, Tarogong, Garut; Himpunan Mahasiswa (Hima) di Pesantren Campakawarna, Tasikmalaya; dan Himpunan Mahasiswi (Himi) di Pesantren Bantargebang, Indihiang, Tasikmalaya.

Sementara pembukaannya akan di-pusatkan di suatu tempat, karena kemungkinan akan dibuka oleh pejabat negara hasil Pemilu 2009, tetapi belum ditentukan tempatnya, apakah di Bandung, Tasikmalaya atau Garut.

Pembahasan lokasi Muktamar di pesantren berjalan cukup alot, mengingat berdasarkan hasil laporan Tim Survey Pesantren yang diketuai oleh H. Suwardi Sulaeman, pesantren di lingkungan Persis belum ada yang memadain untuk diguna-kan sebagai tempat Muktamar yang menampung peserta hingga 5.000 orang.

Ketua Tim Survey mengusulkan agar muktamar dilaksanakan di tempat yang memadai semisal Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, supaya dapat diikuti oleh seluruh peserta. Sementara itu, pemilihan lokasi pesantren merupakan amanat muktamar sebelumnya, bahkan sudah tiga kali muktamar mengamanatkan agar muktamar diselenggarakan di pesantren. Akhirnya musyawarah memutuskan Muktamar Persis XIV tahun 2010 dilaksanakan di enam pesantren.

Untuk pedoman siyasah jam’yyah, musyawarah belum mengambil keputusan karena draft masih perlu direvisi. Sedangkan Pola Kaderisasi terdiri atas empat bab, dengan rincian : Bab I : Latar Belakang, Pengertian, Maksud Penyusunan, Landasan, Tujuan Kaderisasi dan Sasaran Kaderisasi. Bab II : Masa Ta’aruf, dll. Selamat bertemu di Muktamar Persis XIV Tahun 2010. Insya Allah Yusuf Badri

sumber : Persatuan Islam Online

comments (1) / Read More

Tuesday, March 31, 2009 / Labels:

Selamat Datang !

selamat datang di blkog ppi 32 dua ini!

comments (9) / Read More